Merek Buaya

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Musim penghujan di wilayah tongkrongan saya kini mulai menyapa. Mungkin demikian adanya dengan wilayah di tempat lainnya. Indonesia will prepare for...BANJIR. Haha, how ashamed....negeriku, musim panas kekeringan dan kebakaran. Musim hujan kebanjiran.

Tidak hanya hidup di daerah tertinggal, daerah ibukota yang (katanya) metropolitan, bergedung tinggi, dan full of life satisfaction pun harus bersiaga terhadap banjir. Umumnya bagi yang tinggal di daerah pingiran Jakarta, berdampingan dengan kali yang mengalami pendangkalan, lahan yang tidak terdaftar IMB, dan rumah-rumah dadakan yang tidak bersertifikat. We are here to survive (they say) terhadap "banjir padahal hujan cuma turun 5 menit". 

Saya pernah ternganga blo'on dengan fenomena tersebut. Saya baru saja sampai di rumah nenek di kawasan Galur (dekat Senen) dari kantor. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Tapi menurut hemat saya (tsaaah...), belum akan banjir toh hujan belum turun lama. Barang-barang tidak perlu di-tinggi-kan dulu ke bagian atas. Tapi belum berapa lama menikmati kudapan bakwan (tidak, sebutmi saja tepung digoreng karena isinya cuma tepung digarami lalu dikasi kol dua tiga lembar). Tiba-tiba ada aliran air yang melewati jemari kaki saya.
What!!??
Banjir??
Ah...mungkin ada orang yang sedang pipis (which is tidak mungkin karena tidak hangat ki airnya, ah bukan maksud saya ini bukan WC umum karena ini ruang tamu). Celingak celinguk kanan kiri, orang-orang diluar hilir mudik teriak banjir. Okeh!! Confirmed, ini banjir! Saya pun keluar.

Ketika keluar saya sangat bingung darimana aliran air deras tersebut datang. Berlagak sok Sherlock Holmes yang menganga macam musafir kurang minum saya tolah-toleh atas bawah kanan kiri.
Hoooh...ternyata karena kurangnya daerah resapan air yang menyebabkan air yang jatuh dari talang air bersebaran mencari jalan pulang (haha) dan karena tidak punya tempat lain akhirnya masuklah ke segala arah yang bisa di aliri. One of them is my house.

Okelah, terserah.

Hari ini adalah hari tahun baru China, yang biasa diketahui bahwa hujan diharapkan turun dengan deras sebagai pertanda rejeki juga datang seiring dengan derasnya hujan (baku hantamki doanya antara orang Cina yang berharap hujan sama pribumi yang berharap tidak banjir).

Tahun lalu liburan yang cukup panjang seperti ini bakal saya gunakan untuk pulang kampung. Tapi karena terlalu sering pulang kampung bikin saya jadi makan garam di perantuan akhirnya bulan ini saya mengkandangkan niat (karena mengurungkan sudah terlalu lazim hehe).

"nanti-nanti pi lagi pulang deh, kumpul dulu uang untuk beli land rover", begitu terus di otak saya ulang-ulang biar masuk ke bawah alam sadar yang mana alam bawah sadar lebih berpengaruh 88% dibanding alam sadar yang berarti akan mempercepat alam kuantum untuk mewujudkannya jadi kenyataan  seperti yang dinyatakan Erbe Sentanu dalam bukunya Quantum Ikhlas (hhhhh...hhh..bernapas dulu).

Intinya tidak pulang kampung. Apalagi sudah bisa dipastikan kalo harga tiket bakal sangat mahal di long weekend ini. Antrian yang panjang untuk masuk bandara setelah check in. Dan yang paling bikin jengkel adalah protokoler petugas bandara yang battu-battuang (baca : kalo rajinki sede baru na bikin). Memang mungkin sudah seharusnya saat memasuki pemeriksaan Xray bandara maka semua benda yang logam, gadget, dan juga segala jaket juga tas harus di lepas dan ditaruh dalam bak terpisah. Tapi selama beberapa kali menggunakan pesawat baru pada saat natal kemarin saya merasakan pemeriksaan yang "sok" dibuat profesional "lagi".

Seperti biasa, saya selalu sampai bandara disaat tenggat waktu untuk check ini sudah hampir selesai. Berlari-lari dengan tas berat dan harus berada di dalam atrian panjang. Baku senggol kiri dan kanan karena tidak ingin tertinggal pesawat (tumben waktu itu pesawat naga air tidak delayed). Dan ternyata yang bikin (tambah) lama antriannya karena para petugas memberlakukan sistem pemeriksaan yang cukup ribet.

Dari jauh saya lihat orang-orang  mulai membuka ikat pinggang dan melepas jaket.

Glekk!! Waduh??!! Barusanna sede. Mati mijah!

Bukan, saya kaget bukan karena saya bawa bom dalam diri saya. Atau ada narkoba yang saya masukkan dalam tubuh saya. Tapi karena harus membuka ikat pinggang. Saya mulai berpikir untuk tidak mau membuka ikat pinggang toh biasanya juga tidak perlu dibuka dan saya tidak langsung diamankan ke ruang interogasi dengan pengawalan ketat karena melanggar peraturan.

"cuma kalo ketauan pasti tetapji harus dibuka ini ikat pinggang pasti" dalam hati bergumam ala sinetron.

Sedikit lagi antrian sudah hampir giliran saya.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan membuka ikat pinggang (ikat pinggang ji lagi..). Toh bukan disuruh buka baju atawa celana. Tapi pasti ta'bangka (baca : Lannasa' baru na ketawaika, tidak maksudku kaget) kalau para penumpang lain lihat apa yang saya pakai.

Awweeh...

Akhirnya giliran saya. Saya pun (ehem...), membuka ikat pinggang dengan sedikit (bukan sedikit tapi banyak) malu. Pada saat ku angkat helai baju depan untuk buka kaitan ikat pinggang saja si Om petugas bandara langsung melirik (baru pas kuliati pura-pura buang muka) belt depan yang sangat nyata terpampang merek ikat pinggang "CROCODILE". *gubrakk!!* Woow...mereknya mo saya. Masih mending kalau pakai belt cowok dengan merek anak muda jaman sekarang, macam SKATERS atau VANS...ahehehe..

Oke, sekarang sudah mengerti kan kenapa saya deg-degan macam penderita diabetes kurang insulin. Mungkin para pria sudah mengerti bagaimana model ikat pinggang cowok yang berlapiskan material kulit dan "very manly", gahar plus cowok banget. Tapi giliran saya yang pakai (kok malah) lebih terlihat seperti "kenapa si cewek yang dari tadi sok cool dan sok cakep ini pake ikat pinggang om-om yaaak". Musnah sudah pencitraan "Independent and Glamorous Kinda Girl" yang dari tadi saya bangun.

Saya sebenarnya sudah cukup tengsin berat (baca : dipakasirik sama diri sendiri) hanya dengan memperlihatkan belt depan ikat pinggang saya ini. Belum lagi kalo harus melepas total ikat pinggang ini, yang mana ikat pinggangnya lumayan panjang dan berbahan kulit sintesis bermotif kulit buaya, yang warnanya coklat tua tapi (mungkin dipernis atau diapai..) sangat mengkilat (kalau kena cahaya lampu makin mengkilap saja), dan yang pasti modelnya bukan ala cewek dengan aksen rantai-rantai cute sehingga kalau melepas ikat pinggang ini posisi kita jadi ala "samurai melepas pedangnya" karena saking kaku dan panjang.

Hadeuuuh....komplit sudah. Bagaimana mau dapat jodoh. *eh..*

Dalam hati bergumam, " dosa ka kapa ini ka ku lariangi ikat pinggang na bapak padahal na cariki tadi". Dan terus memasang wajah sok asik sehingga cuma lubang hidung saja yang dari tadi kembang kempis tahan malu. Saat melepas ikat pinggang ini dengan posisi samurai membuka pedang. Saya benar-benar melirik ke petugas dan orang yang sedang antri di samping dan belakang saya (gaang...senyum-senyum tojengi liaki model ikat pinggangku). Apalagi pas saya taruh itu ikat pinggang ke dalam wadah plastik karena rada kaku jadi susah buat di lipat, jadi semakin jelas saja model ikat pinggang saya yang benar-benar dikonfirmasi sebagai ikat pinggang bapak-bapak yang bau parfumnya seperti parfum minyak rambut kepala sekolah SD ( tabe' Pak Mallu' kusuka tojengi parfumta iyek...). Padahal ibu-ibu di belakang saya melepas ikat pinggang eh bukan..sebut saja perhiasan pinggang ala Syahrini nya dengan elegan.

Ya sudahlaaah...saya sudah pasrah, toh terkadang kita harus malu mengakui bagaimana kepribadian diri kita sendiri yang berbeda ketika nilai sosial sudah menjadi nilai mutlak yang membuat semua "seharusnya begini" dan " seharusnya begitu".  Saya dari jaman sekolah memang lebih menyukai memakai ikat pinggang bapak, dikarenakan saya tidak menyukai model ikat pinggang kebanyakan yang memakai lubang (karena gendutka jadi biasa haruska bikin lubang baru di ujung ikat pinggang supaya cocoki sama perutku hahaha..). Sementara ikat pinggang bapak entah itu dari kantor dengan lambang Badan Pertanahan Nasional nya atau merek Crocodile nya, modelnya selalu saya sukai. Jadi dia modelnya tidak ada lubangnya, tapi cuma memasukkan sabuknya ke dalam kepala belt nya lalu dijepit jadi sabuknya tidak akan lepas dan goyang-goyang lagi. Sabuknya pun selalu panjang sehingga mau saya segendut apapun tidak kesulitan untuk memakainya saat celana sedang butuh penguat untuk bertahan di pinggang (hehe...).

Setelah puas senyum-senyum dengan dalih keramahan untuk melayani penumpang. Si om petugas bandara menyuruh saya melangkahi gerbang Xray dan memeriksa saya dengan ala kadarnya. Setelah itu saya langsung mengambil tas dan jaket saya untuk segera pergi dari kumpulan yang bikin jengah. Selesai...

Belum lama berjalan, si om petugas memanggil dari belakang,
"mbak..mbak...!"
Saya yang merasa dipanggil pun menoleh dan menyahut,
"iya pak..?"
"ini jam tangannya lupa sama sabuk kulit buaya nya".

Omo??!!
Aiigoo...
Kancuuuuut!!!!
Haiiiiih, pakai lupa lagi. Itu petugas juga kenapa tidak pakai TOA sekalian buat panggil saya dengan suaranya yang kedengaran penumpang lain yang akhirnya kembali menoleh ke saya.

Sebenarnya saya mau bilang, "sudah buang aja pak, saya mau beli yang lebih feminin kok, jangan dikira saya suka pakai ikat pinggang laki-laki ya..saya cuma belum ada kesempatan saja buat beli, jadi yawdah...saya iseng aja kok". Yang mana itu cuma bakal percuma dan buang-buang waktu apalagi memang celana saya melorot. Akhirnya saya pun kembali mengambil jam tangan dan ikat pinggang tersebut. Tidak lupa pula saya memakainya di depan petugas itu sekalian (takkala ma malu baru itu pesawat mau mi terbang sallo dudui mau pigi toilet sede).

Hah, thank you officer.





Posting Komentar