Gara-Gara Bussang

Assalamu alaikum, apa kabar semua?


Siapa yang sudah menikah?

Well...

Saya tidak begitu memahami primbon hari baik, namun keliahatannya beberapa bulan sebelum bulan Ramadhan dan sesudahnya. Adalah hari nikah massal. Meja jadi penuh undangan pernikahan, tiap minggu bisa tiga sampai empat kali  “kondangan”. Sampai bingung baju mana lagi yang harus dipakai.

Lemari bufet “macea” jadi beragam bentuk suvenir-suvenir pernikahan yang berbanding lurus dengan makin kosongnya kantong akibat harus mengisi amplop undangan dengan nominal (kalo nda malu-malu jako) minimal lima puluh ribuan (biasa yang beramplop putih polos tanpa nama, itumi).

Bagi kalian yang kondangan bersama pasangan resmi.

Berbahagialah karena paling banter yang ada di pikiran kalian hanya “ih..sapa indo bottingnya itu kenapa canti sekali make up sama lamming na gang, kenapa nda disituki juga dulu ayah...”. 

Bagi yang bersama pacar.

Pasti perasaan dan wajah mupeng “ngebet” (mau sekalimi) nikah kalian bakal sangat terlihat, sambil berfoto di area photo boot dengan kertas bertag “WE ARE THE NEXT”. Dan kata-kata “doakanga juga naah kodoong”.

Tapi... jangan cari mereka yang jomblo.

Karena --  “dari tadi mi dia ada di dekatnya meja makanan pigi sendok nasi sama daging plus kerupuk tambah satu air gelas”. 

Mengeksekusi kue penutup dan buru-buru keluar sambil mengantongi suvenir pernikahan dengan tulisan terima kasih atas kehadirannya yang seakan-akan tertawa dan berkata,
 “bagemana cika’ gammarak ja pake baju bodo toh, kau kapan?”

*dustaakk!*

Tidak perlu berlama-lama bagi mereka yang lajang untuk berada di acara pernikahan, disana bagai ajang pameran antara -- “baju na sapa paling bagus, gincu dengan warna apa yang tidak hilang “matte” nya waktu gigit daging ayam, alis na sapa paling sempurna, bulaeng (baca : perhiasan emas) na aji yang mana yang paling singarak, ah..pokokna kalo bisa dikalah heba ki pengantinga”. 

Hmm, dan saya jadi ingat, sebentar lagi bakal jadi objek hinaan bagi mereka, para penghuni kehidupan sosial yang menjadikan semua atas sesuatu adalah seharusnya, termasuk pernikahan – yang harus disegerakan tanpa perlu alasan lain akan kenapa belum dilakukannya (belibet yak bahasanya..haha).

Hari itu, keesokan harinya akan diadakan acara “mappettu ada” atau lamaran, untuk adik perempuan saya (ehem..yak adekku, bukampi saya, puas mako semua ketawaikaaa’..).

Malamnya, kami sekeluarga cukup kerepotan dalam mempersiapkan menu yang akan dibuat untuk kudapan tamu calon mempelai pria. Rumah yang sempit memuat oksigen cepat habis dan kami berbagi karbondioksida (sepertinya) sehingga rumah terasa bussang (baca : gerah), sesak dan panas. Kipas angin sedari tadi hanya memutar-mutar hawa yang gerah. Para pa’dawa-dawayya (baca : koki, bisa  juga disebut : keluarga dan tetangga yang rela membantu menghabiskan hari untuk bikinkanko kue) terlihat beberapa kali mengusap dahi dan leher, serta tangan yang terkipas-kipas tanda ke-bussang-an.

Rasanya ingin segera membelikan mereka alat penyejuk ruangan saat itu juga, tapi kantong juga limit kartu kredit sepertinya tidak begitu cukup untuk AC dengan ukuran PK AC yang sesuai. Tiada lain tiada bukan, satu-satunya yang bisa terbeli adalah kipas angin (lagi).

Saya dan adik lain (bukan yammau menikayya). Diberi tugas untuk mencarinya malam itu juga, pukul sembilan malam, Yang artinya semua toko yang menjual barang tersebut sudah tutup karena kami bukan tinggal di kota yang begitu ramai, yang ketika membuka toko sampai larut malah hanya akan mengundang panga (baca : maling, garong, tukang rampok atau apapun ungkapan yang merepresentasikan orang jahat perebut suami eh maksud saya barang orang lain, hhehe).

Melihat kondisi tersebut saya dan adik memutar otak untuk menuju ke kawasan pusat ibukota, mungkin disana masih ada toko yang buka. Dengan menggunakan motor kami melaju on the way. Leher kami berulang kali menoleh ke kiri dan kanan, mata kami jelalatan menelusuri jalan seakan mencari tersangka kasus korupsi yang sedang melarikan diri.
Sesampainya di kawasan wisata kuliner Maros yang sedang ramai (kebetulang malam minggui juga), terlihat dari kejauhan ada sebuah toko alat listrik yang memajang tiga buah kipas angin. Kami berhenti di depannya, pemilik toko dari balik toko kacanya  memandang kami pula. Tatapannya sekan berkata, “singgahko sine masuk toko ku eh...”.

-----------

“Ani, itue ada kipas angin kayaknya..”
“Yakinko? Tiga ji itue kuliat..nanti jele’?!”
“Iyo pade keliling maki dulu sapa tauk masih ada yang lain, kalo ndada baruki kesitu”

Motor pun kembali menderu menuju arah belakang demi mengelilingi semua barisan ruko, yang pada  akhirnya kami sadari, semua toko yang disinyalir menjual kipas angin sudah tutup. Yang buka hanyalah cafe-cafe kopi dengan tema yang sama, yang sering dikatakan –kekinian, dengan wallpaper yang cihui demi para selfie, wefie maniac, dilengkapi gelas dan sendok adukan kopi yang diberi signature nama cafe demi menunjang hasrat para instagram-er untuk diposting. Duduk berjam-jam dengan hanya satu gelas (bukan kopi biasanya) demi mendapati password wifi.

Ah, sami mawon kabeh..

Ide yang sudah lebih dulu dimiliki kaum di Jawa sana untuk kemudian diadopsi dan masuk dalam tataran – tawwa gaulnya mi—era.

Keep fighting with that dude.

Kembali kepada kami para pencari kipas angin.
Setelah keliling dan tidak jua mendapati toko lain yang buka. Kami pun sempat bingung.

“Ani, ayokmi minum jus deh, ato makang basso mungking?”
“Weh kak Lia, pokus ko, disuruki cari kipas anging”.
“Astagaah...iyo dih, maapkanga hilapka’..”

Setelah sedikit lelah yang mengakibatkan disorientasi, kami pun bertolak untuk kembali kepada toko awal tadi yang masih buka dengan tiga buah kipas angin “mejeng” di etalase tokonya.

Ah, sial. Karena toko itu ternyata sudah tutup juga akhirnya. Hanya kegelapan yang ada di depan tokonya. Dengan aura yang sekan berkata “sapa suruko tida singga memang dari tadi”—nya.

“Ani, keliling maki pade dulu di pasar deh, sapa tauk masi adaji buka”.
“Ndada mi itu nah, karena malam mi, sore saja na tutup semua mi”.
“Enda boleki putus asa Ani, bussang
na itu kaweh di rumah”.

---------------

Motor kembali melaju. Dengan sedikit lebih cepat.

Kami beberapa kali berhenti karena melihat ada toko penjual baju yang masih buka dan terlihat memiliki kipas angin dari kejauhan, 
“weh itueehh..ada na jual kipas angin!”

Motor diputar dengan segera. Wush!

Namun segera kecele (baca : apadih kecele..?? emm..kayak ketipu mungkin) karena ternyata itu bukan kipas angin yang dijual melainkan --  “memang punya na ji penjualka na pake ki karena panas tongi na rasa kapang toko na”.

*gubrak!!* (padahal rannu ta mo gang..)

Dan setelah berkeliling, semua tetap sama. Toko sudah pada tutup. Disitu kami baru sangat menyadari bahwa Maros belum jadi kota besar. Tingkat produktivitas warganya belum begitu tinggi. Yang masih buka sampai tengah malam hanyalah para penjaja buah dan penganan oleh-oleh daerah saja. Demi melayani para penumpang bus atau kendaraan antar kota, yang mungkin sedikit lapar atau kebelet ingin ke toilet.

Saya pun memiliki ide untuk mencari kipas ke arah bandara, pikiran picik saya masih saja berharap bahwa mungkin masih ada toko yang masih buka jika sudah masuk kawasan kota besar.

Namun saat berjalan ke arah sana, tepat di depan mesjid Almarkas Maros, kendaraan cukup padat dan sedikit macet, ada beberapa motor yang berhenti di tengah jalan dan bahkan memutar balik.

Saya pun sedikit membentak sebuah motor yang dikendarai oleh seorang pria muda yang dipeluk mesra oleh penumpang wanitanya dari belakang (etdah..bukan karena jealous nah..) karena tiba-tiba motornya memutar arah pas di depan motor kami.

“We tolona ineh! Satu arah ki ine we.!”

Yang dibentak hanya melengos tidak peduli seakan lari dari sesuatu.

Kendaraan di depan pun semakin sesak saja, dari kejauhan terlihat rompi kuning kehijauan yang mengkilat diterpa sorot lampu kendaraan mengarahkan mobil dan motor untuk masuk ke dalam area kantor bupati. 

Polisi.

Saya (dengan tolonya) masih saja tidak curiga. Hemat saya waktu itu – “oh..mungkin ada pejabat sedang nikahan jadi para tamu diarahkan masuk ke dalam”. Motor pun saya lajukan tetap ke depan.
Sampai akhirnya benar-benar berada di depan para polisi. Saya pun ditepuk adik dari belakang, bagai ditepok seakan lepas dari pengaruh hipnotis.

“We kak Liaaaa....polisiiiiii!!”

*Deg!!*

“Wih iyoooh mate mijaaaaa”

Kami berdua panik, takut ditilang. Karena tidak (sedang) memegang STNK dan SIM motor. Walau helm terpasang apik, dan semua body motor lengkap (ya iyalah!). Namun kami tetap panik, toh...kami paham budaya sweeping – off the record saja yak. 

Apalagi saat seorang petugas mengarahkan tangannya yang mana maksudnya adalah mengarahkan kami untuk berhenti ke pinggir, padahal saya sudah coba pakai tips dan trik “jangko liak-liaki polisia kalo di jalan nanti nakira ki taku’..” dari seorang teman (yang enggan disebutkan namanya).

Wajah kami terlihat baik-baik saja.

Walau jika diterawang dan dilihat lebih dekat, kalian akan mendapati hidung kami yang kembang kempis tidak beraturan, keringat dingin yang berbulir-bulir, dan degup jantung yang vibrasinya bagai sedang nonton konser metal.

“mati mijaa...mati mijaaa”

Hanya itu yang ada di dalam hati kami.
Pikiran kepada orangtua di rumah yang menunggu kami di teras, para tukang masak yang sedang kepanasan, apalagi motor yang masih kredit dan beberapa lembar uang kipas angin yang ada di kantong seakan-akan memburu (hahaha..lebay yak).

Akhirnya seakan otomatis saja, ketika petugas itu lengah mengarahkan kami ke pinggir, saya tiba-tiba saja tetap melaju pergi. Lari dan lari. Pokoknya kabur. Bagai sedang dalam misi Tom Cruise di Mission Imposible, saya melaju kencang menghidari sweeping. Jilbab kami melambai-lambai kencang sejalan dengan hati kami. 

Bruuuummm..!!

“Ani! Ani! Liaki bede! Nda na ikuti jaki plokis ka??!! Liaki Ani!”
“Astaga kak Liaaa...weeeh, hati-hatikoooo...pelan-pelanko!!”
“Liaki Aniiiii....!”
“Enda jii, enda jiii”

Wuushhh wuusshhh...!

Hari itu berasa ada dalam sirkuit MotoGP saja (hahahahaa..).
Tanpa lihat ke kiri dan kanan, motor diarahkan ke arah keramaian PTB (sok-sok menghilangkan jejak bedeee’).

Berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Seakan lepas dari penyamun.

“astagaaah kak Liaaaaaaa, dumbakku weeeh!!”

Bah, saya juga dumbak (baca: deg-degan kayak mau tampil di depan penonton Indonesian Idol). Entah yang kami lakukan (tepatnya yang saya lakukan) tadi itu benar atau salah. Kami hanya para pencari kipas yang terjebak dalam keadaan yang tidak terduga, dan tidak sedang ingin menjadi korban akan sesuatu yang memang tidak seharusnya kami yang menjadi korban (apakaaaaah...!?).
Lari dari keadaan tanpa tahu apakah kami salah atau tidak dalam keadaan ini. Semua hal tersebut bahkan masih terngiang dalam hati saya sampai sekarang. Satu pikiran yang tiba-tiba saja membuat saya melakukan hal itu adalah “uang dalam kantong ini hanya untuk beli kipas angin” bukan untuk yang lain ( yaaah walo tadi hampirki ku kasi belli jus jeruk na Cafe Dewi Sinta gang...tapi tidak jadi ji).

Kami masih saja terlongo untuk beberapa menit (atur nafas tohh...).

Dan akhirnya setelah sedikit normal. Saya tetap bingung karena belum juga mendapati sebuah kipas angin bahkan untuk ukuran kecil. Masuk ke kawasan pasar malam hanya mendapati celana jeans dengan penjualnya yang bersiul akan kemolekan wajah kami (aaahhhaaaaayyyy...).

“Cari apaki ceweeetss...celana jings kaaah...priwiiiiit”

Mau putar balik lagi ke arah bandara, insya Allah saya sudah tobat. Demi menghindari bahaya.

“Lewat belakang maki kak Lia, yang ke arah prumnas Tumalia”
“Nda moja Ani, ada tongi kapa disitu jaga ka natauki bilang tempa’ kebur na ananak mudayya itu”
“Jadi??”
“Pura-pura maki masuk ke mesjid Almarkas baru keluar lewat gerbang seblana mo..”
“Wiihh..mallakka deh..nanti di dapakki lagi”

Kami sempat berdiskusi alot demi mencari jalan keluar dan menjaga harapan kami akan kipas angin yang belum ditangan. Sementara cafe sebelah yang memiliki dua lantai sedang menyanyikan lagu Dmasiv – “jangan menyeraaah...jangan menyeraaah...jangan menyeraaaah haaa...haaaaah...”.

“pokoknya haruski dapa’ kipas angin Ani”
“iyo..lama ta mo pergi baru pulangki ndda tonji kipas angin”
“Tapi bagemanaaa...”
“Oh...coba ki dulu pulang tapi lewat depannya ki pasar ka, ada mau kuliat”
“Na ndada..sudamaki tadi keliling toh..?”
“lewat maki dulu saja”

Tanpa babibu lagi motor kami arahkan ke jalan depan pasar tanpa kupertanyakan akan “apa tadi mau na liat adekku”, perlahan-lahan berjalan demi tetap memastikan bahwa (masih) ada toko yang buka. Saat melewati pos polisi dan sebelum sampai ke arah lampu lalu lintas, tepatnya di samping para penjual kaset bajakan dan pulsa juga HP merek China. Ada sebuah toko elektronik yang pintunya masih buka setengah (entah itu penjual galauki antara mau mi na tutup ato masi mau buka). Kami dengan kalap (macam ngegap orang selingkuh) segera memarkir motor.

“Itueeeh..itueeeh masi bukaaa, yeeeeeeeeyyyy!!!”

Ani, adik saya yang dari tadi pias karena kabur dari sweeping tiba-tiba bersorak sorai gembira, seperti mendapati oase di tengah padang gersang. Dan saya dengan “tolo”—nya malah bilang,
“Tida adaji itu guguknya Ani?Karena kayaknya cina yang punya baru pernah kuliat ada guguknya keluar masuk disitu”

*gubrakk!!*

“Awweeh ayokmi deh, bilang memangka tadi waktu pergi sekilas kuliat kayak masi buka tapi tidak yakinga, ternyata masi buka ji gaaang...yeey”.

Adik saya sudah tidak peduli lagi, dan saya yang sangat takut akan najis guguk masih juga cemas takut terkena najis (weird me...yeah..).
Beruntung saat kami masuk, si guguk tidak terlihat (mungkin tidak ada, atau mungkin tidurmi..). Nampak hanya seorang bapak yang membeli sebuah bahlon lampu dan dilayani bapak (keturunan Tionghoa) tua. 
Terlihat di dalamnya ada banyak kipas angin. Macam mendapati syurga kipas rasanya. Kami bisa saja memilih-milih terlebih dahulu, namun demi melihat tokonya saja kami sudah sangat bersyukur sehingga dengan tidak begitu lama negosiasi pilihan merek dan harga. Kami pun menjatuhkan pilihan pada kipas angin dengan ukuran sedang dan harga yang juga -- sedang,
 “ harga tutup toko ku mi itu nak..”, ujar si empunya toko.

Ahaaaaayyy!! Alhamdulillaaah....dapat juga.

Kami mengangkat kipas itu bagai tim ganda putri yang mengangkat PIALA UBER CUP. 

Yeeeaaaaayyy!!

“Mau dibungkus nak?”
“Tida usami, pake disini mi om”

Hehe, tentu saja tidak. Kami sudah cukup senang karena hasrat memiliki kipas angin bisa terlaksana setelah banyaknya uji dan coba yang dilalui.
Orang rumah setidaknya tidak akan begitu kepanasan lagi saat memasak sehingga persiapan acara nganre baje’ (baca : ketan yang dimasak dengan gula merah yang kalau masih hangat enak dimakan tapi kalo kena mi angin lebi keras ki daripada batu kurasa..) tetap bisa terlaksana. 

------------

Sesampainya di rumah, kami berdua disambut layaknya sang juara bulutangkis yang diarak karena memenangkan piala (hahahaha....padahal karena mereka suda kepanasan dari tadi).
Pertanyaan-pertanyaan, “kenapa ko lama” dan “dimanako beli kenapa masi bisako dapa’ kipas angin” hanya kami jawab dengan senyuman dan lirikan yang kompak. Tidak cukup kata untuk menjelaskan petualangan semalam dengan kipas angin itu. 
Pun dalam hati kami berucap “deh..kalo na tauki bapak bilang lari ki karena hampir ditilang napakamma kipas anging...habis ma’ saya”.





The End.

*Jangan ditiru yaa..*






Merek Buaya

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Musim penghujan di wilayah tongkrongan saya kini mulai menyapa. Mungkin demikian adanya dengan wilayah di tempat lainnya. Indonesia will prepare for...BANJIR. Haha, how ashamed....negeriku, musim panas kekeringan dan kebakaran. Musim hujan kebanjiran.

Tidak hanya hidup di daerah tertinggal, daerah ibukota yang (katanya) metropolitan, bergedung tinggi, dan full of life satisfaction pun harus bersiaga terhadap banjir. Umumnya bagi yang tinggal di daerah pingiran Jakarta, berdampingan dengan kali yang mengalami pendangkalan, lahan yang tidak terdaftar IMB, dan rumah-rumah dadakan yang tidak bersertifikat. We are here to survive (they say) terhadap "banjir padahal hujan cuma turun 5 menit". 

Saya pernah ternganga blo'on dengan fenomena tersebut. Saya baru saja sampai di rumah nenek di kawasan Galur (dekat Senen) dari kantor. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Tapi menurut hemat saya (tsaaah...), belum akan banjir toh hujan belum turun lama. Barang-barang tidak perlu di-tinggi-kan dulu ke bagian atas. Tapi belum berapa lama menikmati kudapan bakwan (tidak, sebutmi saja tepung digoreng karena isinya cuma tepung digarami lalu dikasi kol dua tiga lembar). Tiba-tiba ada aliran air yang melewati jemari kaki saya.
What!!??
Banjir??
Ah...mungkin ada orang yang sedang pipis (which is tidak mungkin karena tidak hangat ki airnya, ah bukan maksud saya ini bukan WC umum karena ini ruang tamu). Celingak celinguk kanan kiri, orang-orang diluar hilir mudik teriak banjir. Okeh!! Confirmed, ini banjir! Saya pun keluar.

Ketika keluar saya sangat bingung darimana aliran air deras tersebut datang. Berlagak sok Sherlock Holmes yang menganga macam musafir kurang minum saya tolah-toleh atas bawah kanan kiri.
Hoooh...ternyata karena kurangnya daerah resapan air yang menyebabkan air yang jatuh dari talang air bersebaran mencari jalan pulang (haha) dan karena tidak punya tempat lain akhirnya masuklah ke segala arah yang bisa di aliri. One of them is my house.

Okelah, terserah.

Hari ini adalah hari tahun baru China, yang biasa diketahui bahwa hujan diharapkan turun dengan deras sebagai pertanda rejeki juga datang seiring dengan derasnya hujan (baku hantamki doanya antara orang Cina yang berharap hujan sama pribumi yang berharap tidak banjir).

Tahun lalu liburan yang cukup panjang seperti ini bakal saya gunakan untuk pulang kampung. Tapi karena terlalu sering pulang kampung bikin saya jadi makan garam di perantuan akhirnya bulan ini saya mengkandangkan niat (karena mengurungkan sudah terlalu lazim hehe).

"nanti-nanti pi lagi pulang deh, kumpul dulu uang untuk beli land rover", begitu terus di otak saya ulang-ulang biar masuk ke bawah alam sadar yang mana alam bawah sadar lebih berpengaruh 88% dibanding alam sadar yang berarti akan mempercepat alam kuantum untuk mewujudkannya jadi kenyataan  seperti yang dinyatakan Erbe Sentanu dalam bukunya Quantum Ikhlas (hhhhh...hhh..bernapas dulu).

Intinya tidak pulang kampung. Apalagi sudah bisa dipastikan kalo harga tiket bakal sangat mahal di long weekend ini. Antrian yang panjang untuk masuk bandara setelah check in. Dan yang paling bikin jengkel adalah protokoler petugas bandara yang battu-battuang (baca : kalo rajinki sede baru na bikin). Memang mungkin sudah seharusnya saat memasuki pemeriksaan Xray bandara maka semua benda yang logam, gadget, dan juga segala jaket juga tas harus di lepas dan ditaruh dalam bak terpisah. Tapi selama beberapa kali menggunakan pesawat baru pada saat natal kemarin saya merasakan pemeriksaan yang "sok" dibuat profesional "lagi".

Seperti biasa, saya selalu sampai bandara disaat tenggat waktu untuk check ini sudah hampir selesai. Berlari-lari dengan tas berat dan harus berada di dalam atrian panjang. Baku senggol kiri dan kanan karena tidak ingin tertinggal pesawat (tumben waktu itu pesawat naga air tidak delayed). Dan ternyata yang bikin (tambah) lama antriannya karena para petugas memberlakukan sistem pemeriksaan yang cukup ribet.

Dari jauh saya lihat orang-orang  mulai membuka ikat pinggang dan melepas jaket.

Glekk!! Waduh??!! Barusanna sede. Mati mijah!

Bukan, saya kaget bukan karena saya bawa bom dalam diri saya. Atau ada narkoba yang saya masukkan dalam tubuh saya. Tapi karena harus membuka ikat pinggang. Saya mulai berpikir untuk tidak mau membuka ikat pinggang toh biasanya juga tidak perlu dibuka dan saya tidak langsung diamankan ke ruang interogasi dengan pengawalan ketat karena melanggar peraturan.

"cuma kalo ketauan pasti tetapji harus dibuka ini ikat pinggang pasti" dalam hati bergumam ala sinetron.

Sedikit lagi antrian sudah hampir giliran saya.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan membuka ikat pinggang (ikat pinggang ji lagi..). Toh bukan disuruh buka baju atawa celana. Tapi pasti ta'bangka (baca : Lannasa' baru na ketawaika, tidak maksudku kaget) kalau para penumpang lain lihat apa yang saya pakai.

Awweeh...

Akhirnya giliran saya. Saya pun (ehem...), membuka ikat pinggang dengan sedikit (bukan sedikit tapi banyak) malu. Pada saat ku angkat helai baju depan untuk buka kaitan ikat pinggang saja si Om petugas bandara langsung melirik (baru pas kuliati pura-pura buang muka) belt depan yang sangat nyata terpampang merek ikat pinggang "CROCODILE". *gubrakk!!* Woow...mereknya mo saya. Masih mending kalau pakai belt cowok dengan merek anak muda jaman sekarang, macam SKATERS atau VANS...ahehehe..

Oke, sekarang sudah mengerti kan kenapa saya deg-degan macam penderita diabetes kurang insulin. Mungkin para pria sudah mengerti bagaimana model ikat pinggang cowok yang berlapiskan material kulit dan "very manly", gahar plus cowok banget. Tapi giliran saya yang pakai (kok malah) lebih terlihat seperti "kenapa si cewek yang dari tadi sok cool dan sok cakep ini pake ikat pinggang om-om yaaak". Musnah sudah pencitraan "Independent and Glamorous Kinda Girl" yang dari tadi saya bangun.

Saya sebenarnya sudah cukup tengsin berat (baca : dipakasirik sama diri sendiri) hanya dengan memperlihatkan belt depan ikat pinggang saya ini. Belum lagi kalo harus melepas total ikat pinggang ini, yang mana ikat pinggangnya lumayan panjang dan berbahan kulit sintesis bermotif kulit buaya, yang warnanya coklat tua tapi (mungkin dipernis atau diapai..) sangat mengkilat (kalau kena cahaya lampu makin mengkilap saja), dan yang pasti modelnya bukan ala cewek dengan aksen rantai-rantai cute sehingga kalau melepas ikat pinggang ini posisi kita jadi ala "samurai melepas pedangnya" karena saking kaku dan panjang.

Hadeuuuh....komplit sudah. Bagaimana mau dapat jodoh. *eh..*

Dalam hati bergumam, " dosa ka kapa ini ka ku lariangi ikat pinggang na bapak padahal na cariki tadi". Dan terus memasang wajah sok asik sehingga cuma lubang hidung saja yang dari tadi kembang kempis tahan malu. Saat melepas ikat pinggang ini dengan posisi samurai membuka pedang. Saya benar-benar melirik ke petugas dan orang yang sedang antri di samping dan belakang saya (gaang...senyum-senyum tojengi liaki model ikat pinggangku). Apalagi pas saya taruh itu ikat pinggang ke dalam wadah plastik karena rada kaku jadi susah buat di lipat, jadi semakin jelas saja model ikat pinggang saya yang benar-benar dikonfirmasi sebagai ikat pinggang bapak-bapak yang bau parfumnya seperti parfum minyak rambut kepala sekolah SD ( tabe' Pak Mallu' kusuka tojengi parfumta iyek...). Padahal ibu-ibu di belakang saya melepas ikat pinggang eh bukan..sebut saja perhiasan pinggang ala Syahrini nya dengan elegan.

Ya sudahlaaah...saya sudah pasrah, toh terkadang kita harus malu mengakui bagaimana kepribadian diri kita sendiri yang berbeda ketika nilai sosial sudah menjadi nilai mutlak yang membuat semua "seharusnya begini" dan " seharusnya begitu".  Saya dari jaman sekolah memang lebih menyukai memakai ikat pinggang bapak, dikarenakan saya tidak menyukai model ikat pinggang kebanyakan yang memakai lubang (karena gendutka jadi biasa haruska bikin lubang baru di ujung ikat pinggang supaya cocoki sama perutku hahaha..). Sementara ikat pinggang bapak entah itu dari kantor dengan lambang Badan Pertanahan Nasional nya atau merek Crocodile nya, modelnya selalu saya sukai. Jadi dia modelnya tidak ada lubangnya, tapi cuma memasukkan sabuknya ke dalam kepala belt nya lalu dijepit jadi sabuknya tidak akan lepas dan goyang-goyang lagi. Sabuknya pun selalu panjang sehingga mau saya segendut apapun tidak kesulitan untuk memakainya saat celana sedang butuh penguat untuk bertahan di pinggang (hehe...).

Setelah puas senyum-senyum dengan dalih keramahan untuk melayani penumpang. Si om petugas bandara menyuruh saya melangkahi gerbang Xray dan memeriksa saya dengan ala kadarnya. Setelah itu saya langsung mengambil tas dan jaket saya untuk segera pergi dari kumpulan yang bikin jengah. Selesai...

Belum lama berjalan, si om petugas memanggil dari belakang,
"mbak..mbak...!"
Saya yang merasa dipanggil pun menoleh dan menyahut,
"iya pak..?"
"ini jam tangannya lupa sama sabuk kulit buaya nya".

Omo??!!
Aiigoo...
Kancuuuuut!!!!
Haiiiiih, pakai lupa lagi. Itu petugas juga kenapa tidak pakai TOA sekalian buat panggil saya dengan suaranya yang kedengaran penumpang lain yang akhirnya kembali menoleh ke saya.

Sebenarnya saya mau bilang, "sudah buang aja pak, saya mau beli yang lebih feminin kok, jangan dikira saya suka pakai ikat pinggang laki-laki ya..saya cuma belum ada kesempatan saja buat beli, jadi yawdah...saya iseng aja kok". Yang mana itu cuma bakal percuma dan buang-buang waktu apalagi memang celana saya melorot. Akhirnya saya pun kembali mengambil jam tangan dan ikat pinggang tersebut. Tidak lupa pula saya memakainya di depan petugas itu sekalian (takkala ma malu baru itu pesawat mau mi terbang sallo dudui mau pigi toilet sede).

Hah, thank you officer.





#2 Jakarta...Oh Jakarta

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh....


Sekarang sedang booming khimar. Apakah ada dari kalian yang sedang terkena dampak tersebut? Semoga iya..dan semoga benar hidayah..

Lah??!! Hehe..
I am actually dont wanna talk about it. Tapi dari sekedar lintasan lalu kemudian terpikirkan dan akhirnya secara tidak sengaja terpatri ke dalam alam bawah sadar..dan jadilah celetukan.
Bukan...kali ini saya tidak sedang meng-kepo-i mereka yang sedang manis-manisnya berjilbab (dengan tampakan) besar.

Saya hanya sedang mengingat busway yang saya lihat tadi pagi di jalan.
Yang saya dengar bahwa kampuang halaman nan jauh di mato sana...tengah mengoperasikan kendaraan umum yang serupa. 

Banyak hal dan pengalaman yang saya rasakan semenjak menggunakan transportasi tersebut sejak pertama kalinya.
 
Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, bahwa saya setelah terdepak dari perusahaan pelayaran Samudera Indonesia (hoohhh how I hate to spell that name), akhirnya kembali mendapat panggilan kerja sebagai staff General Affair pada perusahaan Korea yang juga masih berada di dunia pelayaran. Lokasi kantornya di kawasan Blok M. Transportasi umum yang sering saya gunakan adalah transjakarta. Dikarenakan harus masuk pukul 7 pagi, saya yang berdomisili di Priok harus berangkat jam 5 subuh demi tidak terlambat dan terhindar dari macet.

Selalu bertemu para bapak-bapak berkopiah dan berkoko nan syahdu baru pulang dari masjid..
Ber "mari pak" dengan khidmat yang dijawab dengan "mari neng..." yang sudah pasti diikuti pikiran.... La'lampa kemae antu ana darayyaa...na sassang inji alloaa.. (hahahaha...).

Dengan jadwal keberangkatan yang pagi-pagi buta  tanpa sarapan dan nyawa yang belum semua terkumpul, kadang saya berjalan sambil terkantuk-kantuk dan kaki terantuk batu. Jalanan dari kos ke jalan besar tampak lengang membuat saya selalu berjalan sambil celingak celinguk...(sapa tauk ada mangga jatuh toh..kan lumayan...). Kadang sedikit bergidik, entah bakal digarong maling karena dia kedapatan baru pulang kerja (untuk menghilangkan bukti..) atau ketemu anjing liar yang masih mencari makan.

Sampai di halte...ternyata saya bukan penumpang pertama. Jakarta memang tidak tidur (setidaknya bagi mereka para pencari suaka eh...bukan maksud saya para pencari makan) petugas halte busway juga sudah disana dengan tampang "jangko ajak bicaraka karena capek sekalika". Dan penumpang lainnya juga terlihat sama tidak semangatnya dengan saya. 

Saat bus transjakarta itu tiba hati rasanya sedikit senang. Pagi buta begini biasa kursi masih kosong. Apalagi memang rute nya masih pendek. Naik ke dalamnya hembusan AC masih cukup segar dan tidak pengap (jadi bisalaaaah kita ngalanjut tiduuur..). Saya suka memilih kursi dekat dengan pintu masuk sehingga bisa sandar ke samping pun dekat jika mau turun. Tas di kempit baik-baik, masker put on, kaki dilipat, sandar kepala ke palang samping, okeh...mari kita bobook. Kadang benar-benar sampai tertidur pulas sampai akhirnya seperti (kayak ada...) ada yang memandang dan menendang-nendang. Pas terbangun (ommaaLeeeee....) bus sudah full load. Saya yang tadi cuma sendiri jadi punya jamaah (hahahaha...), bahkan yang bergelantungan (maksud saya) berdiri sambil memegang hanger tangan pun berjubel. Kaki jadi terinjak-injak...dan pandangan orang yang sedang berdiri di depan saya pun sudah pasti selalu tertuju pada saya (baa...GR ja bilang saya na liaki..padahal kursi ku na mau). Dengan wajah bermasker kita bagai saling perang kilatan mata ala StarWar. Dan umpatan dalam hati...

"enak nu bisa duduk diiih..."
"hahaha..mau tongko kursi buat duduk??!! berangkatko subuh-subuh ceeeees..."

Yang terlihat memang baku liat-liat ji, tapi ada vibrasi disana kalau mau diterawang.

Begitulah..kadang juga saya cuma bisa pasang poker face.
Peringatan "berilah duduk bagi lansia, ibu hamil, dan anak-anak" kadang (maaf) tidak kami (bukan cuma saya) pedulikan (kecuali kalo di depannu pas itu orangtua atau na tegurki petugaska..hahaha).
Perasaan kita sama-sama capek dan mau sedikit istirahat membuat banyak dari penumpang yang pura-pura main HP atau tidur demi tetap mempertahankan kursinya (nantipi dia nda dapat kursi baru mi berpikir betapa jahatnya mereka yang tidak mau berbagi kursi). Bahkan banyak dari penumpang yang pura-pura hamil demi mendapat jatah tempat duduk. Hidup di Jakarta memang keraaaas. The stronger will surviveeee..hehehe..

Paling enak naik transjakarta kalau tidak perlu berganti bus lagi. Namun saya harus berganti sebanyak tiga kali. Jadi level parfum saya pun sama adanya. Berganti level tiga kali. Level rute pertama, okeeh..masih harum fresh sekali bahkan. Rute kedua...harus berganti bus di halte kedua, penumpang bus sudah mulai full, tempat duduk sudah unavailable ( pokoknya sebelum masuk bus harus memang maki mata-matai spot yang bisa dikasi jadi pegangan). Pernah suatu kali saya masuk bus, pegangan sudah tidak dapat, akhirnya tangan orang juga yang saya jadikan pegangan (ahaaaay...) sampai dia berdehem baru saya sadar. Mau ganti pegangan malah cuma jadi berpindah dari tangan si tanta yang tadi berdehem ke tangan tanta-tanta lainnya (yang dari tadi mi melirik seakan berkata..."awas memangko mappegang di saya cewets"). Akhirnya saya cuma bisa berdiri mematung dengan pasang kuda-kuda ala karatedo ban putih (coba mako nda pasang kuda-kuda na nu tattiling). Tapi pertahanan kuda-kuda saya kurang kuat sehingga pas tikungan tajam tubuh saya pun ikut miring dan.....menabrak mas petugas pintu masuk bus, "brukk!!"

"eh..maaf mas.."
Malu-malu mau boker (eh enda..maksud saya malu-malu tojenga untung bukan di Maros)
Si mas..eh om...eh pak..(eh mas mo deh)...dengan sigap memegangi saya (lebih tepatnya tas saya).
"hati-hati mbak..pegangan disini saja"
Saya pikir dia memberikan bahunya. Tapi pas melirik ternyata dia berkata sambil menunjuk palang pintu masuk (ode'eeh..GR ku). Saya cuma ngangguk dan memegang palang tersebut. Yang kalau terbuka kita ikut tertarik, begitupula jika tertutup. Pokoknya serba salah deh. Ya sutralah...daripada baku pegang-pegang tangan sama orang yang tidak mau dipegang.

Belum cukup penderitaan tersebut, saya masih harus turun pada halte ketiga, halte Harmoni, yang merupakan halte sentral, yang kalu sentral artinya pusat, yang kalau pusat artinya disitulah berjubel semua orang and yepp!! I am right! Sampai di halte Harmoni, penumpang berjubel antri puaaaaaaaanjang macam antri dapat anu gratis. Mana lagi pergerakan maju nya sangat lambat macam sinyal internet yang sedang buffering. Mau direfresh bagaimanapun tidak ada perubahan. Dikarenakan kuota penumpang dan kecepatan juga ketepatan bus untuk sampai tidak seimbang. Jadilah mengkeret saya terhimpit mengantri dengan bau parfum yang akhirnya sudah terkalahkan oleh CO2 yang dikeluarkan oleh kami semua. Keringatan...berminyak...pakaian lecek...
Saya sudah merasakan bagai sedang lempar jumroh berhimpit-himpitan begini, berjejalan, tinggal teriak saja Allaaaahu Akbar...terus lempar batu (hahahahaaaa...).
Saling dorong mendorong padahal di depan sana bus belum tampak. Si gadis manis di depan saya nengok "jangan ngedorong dong mbak!". Saya pun menjawab, "dari belakang mbaaak...bukan sayaa..saya juga di dorong iniiih.." sambil enjut-enjutan karena didorong-dorong.

Grafik dorong-mendorong ini bakal lebih parah lagi kalau bus sudah ada di mulut halte. Wuidiiiih..macam seismograf, pasti sudah tidak terbaca grafiknya (tinggal nyawa mami sama tas di pegang hahaha...). Baku himpit menghimpit dan dorong saking tidak mau tertinggal bus demi ke kantor.Tapi apa dinyana....bus sudah cukup penuh dari halte sebelumnya..sehingga hanya mampu menampung beberapa dari seribu (lebaaaay...) orang. Dan kejadian cukup berbahaya ketika saya sudah mencapai bibir pintu halte yang akan menghubungkan dengan pintu bus jika datang. Jadi di depan kita sudah tidak ada pengaman lagi langsung jalan raya dengan intensitas kendaraan yang cukup banyak berlalu lalang. Tidak ada pegangan pula sama sekali. Namun penumpang dari arah belakang terus saja mendorong sampai saya dan beberapa orang hampir jatuh ke jalan raya dan bisa berakibat tabrakan yang fatal. Saya langsung saja teriak,

"woooyy!!! jangko dorong-dorong di belakang woyy mauma jatuh ineeeh!!" 
Eaaakooo...hilang sudah logat. Nyawa ineeeh..
Tapi teriakan cuma jadi teriakan. Dorong-dorong tetap terjadi. Mungkin ada korban baru berhenti.
Saat bus datang pun saya macam selamat dari lubang buaya masuk ke dalam sarang harimau. Buah simalakama. Naik terhimpit macam sarden. Tidak naik terlambat. Lillahi ta ala saja hehehehe....

Bus datang....pintu terbuka...petugas teriak-teriak...
"Pelan-pelan buuu!! Pelan-pelan buu!!! Perhatikan langkah kaki...awas jatuuh...! Jangan berebut di belakang masih banyak buuus!!"

"Iyo masih banyak ka ta satu jam pi lagi na datang, endedeeeh na caritai maki sede.."

Dalam hati bergumam saya pun mengerahkan niat (niat perlu toh..) masuk ke dalam tanpa mempersilahkan yang mau turun keluar lebih dulu. Tidak perlu khawatir untuk memasukkan diri sekuatnya ke dalam bus yang sudah penuh sesak. Karena dorongan dari belakang yang mau masuk sudah cukup kuat. Yaaaakkk...dorong masuuuk...
Bahkan container yang mau di stuffing saja bisa lebih teratur daripada manusia (hahahaha..). Di dalam sudah tidak perlu pegangan lagi deeeh...sudah cukup sesak (masih lebih luas space nya ikan sarden kalengan dibanding saya di transjakarta kayaknya deh...). Jadi paling saling miring ke kiri dan miring ke kanan saja bersama-sama. Badan sudah saling berhimpit satu sama lain (na kalah rapatki shaf salat berjamaah, jadi tidak bisa mi setan datang mengganggu hehehe..). 
Murah sih muraaah....dengan 3500 sudah bisa kemana-mana. Tapi yaah sebandinglah dengan fasilitasnya. Di dalam bus yang terdesak ke pintu kaca. Saya cuma bisa memandangi dari luar, banyaknya mobil pribadi dengan kapasitas 4-5 orang, cuma berisikan 1 orang. (ajattongkiiii eee...mautaa dirasaaa...duduk enak-enak)

Keluar dari bus....badan sudah beraneka ragam budaya (eh maksud saya bermacam-macam mi bau nya...subhanallaaaah.....). Perasaan tadi mandi tapi sudah tidak ada segar-segarnya. Dan berjalan gontai lemah dari halte. Saya masih berjuang untuk lanjut perjalanan....naik KOPAJA. (Eaaaaaahhhhhhh....ini mi pesaing na pete-pete kalo mau baku saing-saing sapa paling lama baru mau jalan). Haaah..salamak ko Aya.

















KARYAWAN KAGOK

Jujur....ku telah menyakitimu...
Ku telah kecewakanmu.....

Ahaha..kenapa malah jadi nyanyi saya.

Jujur, saya setelah hampir setahun lebih wara wiri jadi karyawan swasta. Masih cukup "kagok" dengan istilah-istilah di dunia marketing, which is seringkali digunakan dalam dunia kantor. Dan selalu dan pasti akan seperti itu, hal yang paling bikin "tengsin" adalah ketika kita diminta untuk menelpon atau angkat telepon.

Karyawan lama yang lain kalau angkat telepon seakan-akan bicara bagai dunia milik berdua (tojenga...). Suara akan begitu besarnya seperti bicara di pasar. Bahasa yang dipakai pun tidak akan begitu formalnya karena sudah lama kenal walau yang menelpon adalah customer. Istilahnya sudah saling akrab. Nah, yang jadi masalah adalah biasanya anak baru. Awal saya disuruh menelpon atau angkat telepon suara saya jadi seperti tercekat. Saking (masih) malu-malu dan gugup. Si yang ditelpon jadi tidak mendengar dan cuma bisa bilang, "haaaaah????apaaaaa????....bemana????...sapa inikaaah????". Melihat situasi itu tentu saja saya jadi makin blingsatan (anjaaay....sialak ji ine orang, perasaan besarmi suaraku. Apa saya yang dikerjain atau memang suara saya kecil..). Akhirnya mau tidak mau saya pun menambah volume suara saya. Orang-orang di sekitar mungkin seakan tidak peduli. Tapi saya tahu....telinga mereka sedang mengarahkan sinyal ke saya.
Bagaimana yaa si anak baru itu ngomong.
Apa yaa..yang dia katakan.
Pasti itu. Bohong kalau tidak.

Kenapa bisa saya bilang begitu? Karena saya sudah pernah mengalaminya.

Kala itu saya harus menelpon ke kantor pusat sebuah perusahaan pelayaran, sebut saja ML..ah janganlah..lagsung saja kita sebut Maersk Line. Saya pun cuma bisa telan ludah. "Glekk....malasta menelpong...apa sede mau dibilang...". Ya sudah akhirnya saya pun menekan nomor yang dituju. Tersambung dengan operator dan diminta untuk menekan nomor ekstension yang dituju.

"tuuuuut...tuuuuut....cekrekk...halo siang dengan Yudi ada yang bisa dibantu?"
"emmm..iya siang pak Yudi..ini dengan aya..."
"maaf...bisa di ulang ini dengan siapa?"
"errr..aya pak..."
"iya saya siapa maksudnya..."
(anjaaay....doi tidak dengar apa salah dengar apa gimana yak?)

Sedikit menaikkan volume suara, "Ehemm..ini dengan Aya pak, nama saya Aya".

"oohh..ayaa..iya aya ada yang bisa dibantu?"
Ada pak, bisa banting saya gak?

"err...ini pak mohon diinfokan eta kapal maersk line bulan juli ya pak..."
"ooh iya..bisa..saya kirim email saja ya"
"boleh pak.."
"saya kirim kemana ya?"
"ke aya dot arianitalia at samudera indonesia dot kom"
"ooh iyaa bisa di spell gak?"

Mampus!! Inih!! Saya tidak pernah hafal spelling alfabet. Dari jaman baheula sampe sekarang saya cuma tau alfa beta charlie saja untuk A,B, dan C. Hedeuhh...mau nanya malu....gak nanya nanti ketauan bego. Tapi kalo nanya ribet...Ya sudah..mari kita coba.

"err...iya..a..y...a..."
"y nya yankie ya bu?"

Mauka kurasa bilang, bahhh...mau-mau nu.

"iya..yankie..."
"aha..kemudian...?"
"emm..a..r...i...a..n..i..t..a.."
"emm...bisa di spelling aja gak bu?biar ga salah?"

 Mauka kurasa bilang...tidak ku tauki kodoooong..apa mau ku bilang kalo huruf R..sama T...!!!
Masa mauka bilang Rambutan sama Tanta. Padahal ini kan international level mi. Bujuuuug....kentara ku dongok.

"emm...gini pak, mending email bapak yang disebut biar saya tulis?"
"okeeeh....di yankie ultra delta indiaaa...blaaa...blaaa...blaaa..."

Akhirnya saya yang catat dia punya email. Sambil menggerutu dalam hati. Untung tidak bertemu orangnya..

Tiba-tiba dari belakang ada satu staff yang ternyata dari tadi nguping padahal keliatan kayak serius kerja padahal nguping padahal kayak tidak peduli sama apa yang saya lakukan.

"weeeh ayaaa...lain kali bilang saja Ambon kalo mau sebut huruf A...hahahahaha...masa tidak nu tauki istilah begitu...kampungan muuu hahahahha...."

Busroooooo...besar kamma ketawa nya.
Seisi kantor yang tadi hening jadi ikutan ngakak.
Wokeh...saya pun langsung print di kertas buat saya tempel para istilah-istilah abjad tersebut.

Pernah pulak, saya yang masih lugu (nda mauja sebut diriku dongok hahahaha...).
Saya disuruh ambil file ke customer.

"aya..coba minta invoice ke Pak Aang.."
"Oh iya bu.."

Setelah itu saya diberi secarik kertas oleh pak Aang.
Si ibu yang tadi minta pun akhirnya menagih.

"Mana invoice nya?"

Saya melirik kertas yang saya pegang. Bukan Invoice seperti yang tertulis.

"Maaf bu...saya cuma dikasih bukti pembayaran sama pak Aang, cuma nota..."
"yaaa memang bener..invoice itu nota tagihan atau nota pembayaraaaan ayaaaaak.."
"ooh...hehe..."
Saya pun nyengir sambil berlalu.
Sumpah...cum laude saya benar-benar cuma sebaris kata tak bermakna.
Mak..bapak...kemana saya harus menggati semua biaya kuliah dari mamak sama bapaaak...
Kuliah lain kerjaan yag di dapat pun lain..

Hadeuuuuuh...kehidupanga..hehe

GEJOLAK GOJEK

Assalaaaaaamu alaikuuuum....

Sudah september ya...
Alhamdulillah masih sampai umur ke hari ini.

Kemarin lusa, saya berniat membeli buku baru untuk upgrade otak yang sudah lama tidak di refresh dengan hal yang lebih "berarti". Sekian waktu menjadi buruh harian, jadi bagian klise dari kapitalisme. Dunia modal. Laba oriented. Tsaaah....istilahnya hebat. Padahal saya juga tidak mengerti apa yang saya bilang buehehehehe....

Dari tempat kos saya di Priuk, mall yang dekat adalah Mall Artha Gading, next then ada MoI, Mall Kelapa Gading. Dan saya bersama teman memilih goes to Artha Gading, the nearest one. Untuk kesana, sebenarnya saya lebih suka naik pete-pete (orang jekardah called it Angkot). Tapi kemudian teman saya rekomendasikan untuk pakai Gojek. Yeah..setelah sekian lama booming akhirnya saya memakai jasa ojek online itu.

Untuk pertama kalinya, saat membuka aplikasi Gojek via handphone rasanya...cukup excited. Bingung. Tapi ya sudah di ikutin saja petunjuk teman yang sudah lebih dulu menggunakan servis tersebut.

Entah saya yang aneh atau kenapa, tapi rasanya pakai Gojek itu...rasanya seperti kencan buta (beuuhh..hehehhe...). Pertama di handphone kita tinjau lokasi yang dituju, kemudian lokasi tempat dimana pengen dijemput sama gojek. Menunggu berapa saat....loading....dan menunggu Staff (eh...supir) Gojek yang berada terdekat dengan lokasi kita. Pas nunggu itu rasanya....deg-degan euy....hahahahha...di pikiran berseliweran macam-macam pikiran.

"wiih...bemana mukanya nanti ini yang bakal datang dih..."
"siapa ya....namanya..."
"wangi ji kaaaah...."  *eh*

Dan sampai akhirnya ada telepon yang masuk, nomor baru....(tambah deg-degan maka'..).
Di angkat dan mendengar suara dari seberang berkata....."mbak dimana..?" Ahaaaaayyyy!!!!! Perhatian na caaaak.... (tiba-tiba jadi salting sendiri).
Untung saya tidak jawab...."di hatimuuh...".
Saya langsung sadar dan kembali ke dunia nyata. "ehem...uhukk...emm..saya di lorong jalan Swadaya pak...pakai kerudung merah ya..."

Setelah tutup telpon..tiba-tiba semua lelaki yang lewat naik motor jadi menarik untuk dipandangi (nassami...ka dicariki tukang ojeka). Sampai ada yang mampir dengan bermasker dan berjaket gojek. Beuuuhhhhh....wangi na cak. Slow motion....dia meminggirkan motornya...standar samping...dan berkata dengan lembut (sebenarnya biasa j..), "mbak aya yaa....". Ahaaaaayyyy....alamakzaaang...hahahahha

Singkat cerita saya pun bergojek ria ke mall. Sementara teman saya pun tukang gojeknya sudah datang.

Tapi tiba-tiba kok rasanya setelah pakai gojek yang awalnya kayak kencan buta. Tiba-tiba berubah jadi seperti...ehemm...aneh...entah bagaimana saya harus mendeskripsikan...

Jadi setelah pulang dari Mall kami kembali hendak menggunakan jasa Gojek. Saat kami keluar dari mall. Si tukang gojek ini belum nampak kehadirannya setelah bertelepon2 ria mencari keberadaan masing-masing (hahahaha...).

Jadi kami cukup bingung siapakah dan dimanakah si tukang gojek ini..
Diluar mall...cukup banyak lelaki yang sedang parkir (seperti sedang menunggu seseorang...kayaknya hahaha..). Kami yang sudah tidak punya cukup pulsa untuk crosscheck si gojek pun akhirnya...berusaha menjawab rasa penasaran dengan....(malaska bahaski...tapi biarmi) menanyai satu per satu para lelaki yang sedang parkir...(sapa tauk toh..ka kadang nda na pake ki atribut gojek).

Mendekat perlahan...sembari berbisik (maksud saya bicara pelan-pelan takut malu).
"emmm...bapak cari saya?"
 Dijawab, "oh..enggak mbak..bukan". Glek!! Tengsin tahap 1.

Selanjutnya, " Emm...bapak nunggu siapa?"
Diliatin dengan pandangan alis satu nya naik dan bingung. Okeh!! We know the answer.

Sampai akhirnya datanglah si tukang gojek yang tiba-tiba mampir macam lalat. "Mbak Aya yaaaaak!!!"
Eaaakooh...teriak laloi...
Langsunglah kami diteriaki para security kurang kerjaan yang sedang nongkrong.
"Suiitt...suiitt...udah dari tadi tuh maaas nungguin..."

Baguuus....thank you anyway....Gojek.